a) Latar Belakang
Pelanggaran Hak Asasi Manusia seringkali terjadi baik di
Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Kasus HAM bisa dilakukan oleh
perorangan atau individu, kelompok terhadap kelompok lain, sedangkan yang
paling umum dan sering menjadi sorotan adalah pelanggaran yang dilakukan
institusi atau negara tertentu terhadap warga negaranya seperti disampaikan
oleh praktisi dan pembela hak asasi manusia.
Dalam usaha untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya
pelanggaran ham seperti yang selama ini sering terjadi. Di Indonesia sudah ada
sebuah lembaga bernama Komnas HAM ( Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) yang
berfungsi diantaranya sebagai pemantau atau mengadakan penyelidikan terhadap
hal yang dinilai mengandung unsur pelanggaran.
Disamping itu komnas ham juga memiliki fungsi sebagai
penyuluh termasuk memberikan pendidikan baik kepada masyarakat, penyelenggara
negara maupun institusi, lembaga atau kelompok masyarakat agar tidak melakukan
hal yang mengarah terhadap terjadinya pelanggaran, baik dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya sebagai institusi negara atau sebagai anggota masyarakat
yang memiliki hubungan interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian
HAM ( Hak Asasi Manusia)
Ham merupakan hak yang dimiliki setiap orang atau individu
sejak berada dalam kandungan hingga menemui ajalnya dan berlaku secara umum
sehingga tidak boleh seorang pun atu kelompok yang boleh menggangu hak hak
orang lain. Karena itu, baik secara pribadi atau sebagai warga negara yang
mempunyai berkewajiban menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia, agar setiap orang dapat menjalankan hidup dengan hak masing-masing
sesuai kodrat dan aturan yang berlaku.
Setiap negara memiliki aturan hukum terkait perlindungan
ham, berlaku bagi semua warga negara atau seluruh umat manusia, yang secara
umum merujuk pada aturan yang dikembangkan PBB yang tidak mengenal batasan
sehingga setiap negara di dunia wajib melindungi ham bagi setiap warga negara
atau manusia secara umum meskipun mereka warga negara asing.
Melakukan pelanggaran ham, bisa dikenai sanksi hukum karena
dinilai bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia seperti yang telah
di atur dalam undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
b)
Penyebab Terjadinya Pelanggaran Ham
Hingga saat ini masih banyak terjadi pelanggaran ham
diberbagai belahan dunia. Sedangkan pelanggaran ham yang terjadi di Indonesia
menurut presiden SBY sudah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya, meski pendapat itu ada sedikit perbedaan dengan catatan yang
disampaikan oleh Komnas HAM yang menilai bahwa angka pelanggaran HAM di
Indonesia masih sangat tinggi.
Namun terlepas dari banyaknya kasus pelanggaran ham yang
terjadi di Indonesia, setiap warga negara sudah seharusnya untuk selalu
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia sehingga terhindar dari tindakan atau
hal-hal yang memicu terjadinya pelanggaran.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya pelanggaran
terhadap ham, misalnya kurangnya kesadaran dan pemahaman terhadap nilai-nilai
hak asasi, penegakan hukum yang kurang berjalan dengan baik karena lembaga
penegak hukum yang kurang berfungsi sehingga banyak kasus pelanggaran ham yang
masih belum terselesaikan dan sebagainya
c)
Kasus-kasus pelanggaran HAM
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun
1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Hampir dapat dipastikan dalam
kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia, baik di
Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis,
yaitu :
a.
Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat,
meliputi :
-
Pembunuhan masal (genisida)
-
Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan
-
Penyiksaan
-
Penghilangan orang secara paksa
-
Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematis
b.
Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
-
Pemukulan
-
Penganiayaan
-
Pencemaran nama baik
-
Menghalangi orang untuk mengekspresikan
pendapatnya
-
Menghilangkan nyawa orang lain
Setiap manusia selalu memiliki dua
keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan
berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi
manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan
lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat
terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar
warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah
dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan
sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan
masyarakat Indonesia, seperti :
a.
Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984
antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur
politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat
rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
b.
Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja
wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban
pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong
Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban
pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
c.
Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian
umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad
Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik,
dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
d.
Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak
tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk
sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik
dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
e.
Peristiwa penculikan para aktivis politik
(1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan
orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan
Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang
lainnya masih hilang).
f.
Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei
1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I
terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi
Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang
luka-luka).
g.
Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak
pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi ditutup
setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia -
Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
h.
Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni
berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan
perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan
banyak korban.
i.
Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang
memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat
Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.
j.
Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak
dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban dari kedua belah
pihak.
k.
Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan
terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan
sampai gaji yang tidak dibayar.
l.
Kasus-kasus lainnya
Selain kasus-kasus besar diatas,
terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti dilingkungan keluarga, dilingkungan
sekolah atau pun dilingkungan masyarakat.
Ø
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan
keluarga antara lain:
-
Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada
anaknya (tentang masuk sekolah, memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja,
memilih jodoh).
-
Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya
sendiri.
-
Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya
atau orang tuanya sendiri.
-
Majikan dan atau anggota keluarga
memperlakukan pembantunya sewenang-wenang dirumah.
Ø
Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara
lain :
-
Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah
(berdasarkan kepintaran, kekayaan, atau perilakunya).
-
Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada
siswanya secara fisik (dijewer, dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas
atau dijemur di tengah lapangan).
-
Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.
-
Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.
-
Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman
sekolahnya ataupun dengan siswa dari sekolah yang lain.
Ø
Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat
antara lain :
-
Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau
antarsuku(konflik sosial).
-
Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang
pencuri atau anggota masyarakat yang tertangkap basah melakukan perbuatan
asusila.
-
Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa
atau tidak puas dengan kebijakan yang ada.
·
Bom Bali I ( 12 Oktober 2002 )
Bom Bali terjadi pada malam hari
tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan Kuta di pulau Bali, Indonesia,
mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209 yang lain, kebanyakan merupakan
wisatawan asing. Peristiwa ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme
terparah dalam sejarah Indonesia. Beberapa orang Indonesia telah dijatuhi
hukuman mati karena peranan mereka dalam pengeboman tersebut. Abu Bakar
Baashir, yang diduga sebagai salah satu yang terlibat dalam memimpin pengeboman
ini, dinyatakan tidak bersalah pada Maret 2005 atas konspirasi serangan bom
ini, dan hanya divonis atas pelanggaran keimigrasian.
-
Korban Bom Bali I
1)
Australia 88
2)
Indonesia 38 (kebanyakan suku Bali)
3)
Britania Raya 26
4)
Amerika Serikat 7
5)
Jerman 6
6)
Swedia 5
7)
Belanda 4
8)
Perancis 4
9)
Denmark 3
10)
Selandia Baru 3
11)
wiss 3
12)
Brasil 2
13)
Kanada 2
14)
Jepang 2
15)
Afrika Selatan 2
16)
Korea Selatan 2
17)
Ekuador 1
18)
Yunani 1
19)
Italia 1
20)
Polandia 1
21)
Portugal 1
22)
Taiwan 1
·
Bom Bali II ( 1 Oktober 2005 )
Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri
pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober 2005. Terjadi tiga pengeboman,
satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196
lainnya luka-luka.
Pada acara konferensi pers, presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan telah mendapat peringatan mulai bulan
Juli 2005 akan adanya serangan terorisme di Indonesia. Namun aparat mungkin
menjadi lalai karena pengawasan adanya kenaikan harga BBM, sehingga menjadi
peka.
-
Tempat-tempat yang dibom:
1)
Kafé Nyoman
2)
Kafé Menega
3)
Restoran R.AJA’s, Kuta Square
Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Inspektur
Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti awal menandakan bahwa serangan ini
dilakukan oleh paling tidak tiga pengebom bunuh diri dalam model yang mirip
dengan pengeboman tahun 2002. Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan
dianggap sebagai bukti pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan
ransel-ransel tersebut disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.
Komisioner Polisi Federal Australia
Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang digunakan tampaknya berbeda dari ledakan
sebelumnya yang terlihat kebanyakan korban meninggal dan terluka diakibatkan
oleh shrapnel (serpihan tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis menunjukan
hasil sinar-x bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet"
di dalam badan korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke
belakang tubuhnya
-
Korban Bom Bali II
23 korban tewas terdiri dari:
- 15 warga Indonesia
Flag of Indonesia.svg
- 1 warga Jepang Flag of
Japan.svg
- 4 warga Australia Flag
of Australia.svg
- tiga lainnya
diperkirakan adalah para pelaku pengeboman.
·
Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua
kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang
mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi
Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi
Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan
tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta
menyebabkan 217 korban luka - luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang
bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan
lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri,
sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu
juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah
satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia
yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus
Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan seklaligus
masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang
nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin
menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma
Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi
terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan
ke dalam kampus Atma Jaya.
Semakin banyak korban berjatuhan baik
yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat
yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas
airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal
mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo
(YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas
Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit,
Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong,
Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim
Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang
mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2
orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan,
4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban
mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan
benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar,
wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar
belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun,
terkena peluru nyasar di kepala.
Pada 24 September 1999, untuk yang
kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh
pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan
Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan
keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan
militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama
menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia,
Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
·
Kasus Marsinah
Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993)
adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei
1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun
Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi
pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD
Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang
sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal
sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I
Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan
kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya
beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur
Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah.
Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993
menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang
karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh.
Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam
rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin
Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah
teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan
mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total
mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok
dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka
perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993,
Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa
Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando
Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan
diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan
masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan
Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah
menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah
dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap
secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala
Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan
fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya
diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat
pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17
tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat
hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi
Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus
ini adalah "direkayasa".
·
Kasus Munir ( Pejuang HAM )
Munir Said Thalib (lahir di Malang,
Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7
September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang
aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga
Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Koordinator Kontras
namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik
pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban
penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu
menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para
anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis
HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take
off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa
seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit.
Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor
kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang
kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September
2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa,
Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004
dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan
jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh
polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada
yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus
Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan
terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang
sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan
pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum
pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon
yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih
lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen,
namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn)
Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua
Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak
pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun
demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat
kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang
memvonisnya bebas kini tengah diperiksa
·
Kasus Babeh Baekuni
Nama Bakeuni alias Babe, mendadak
terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia 50 tahun itu diduga menjadi
pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang dibuang
di Jakarta, sebagian “dikubur” di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak
Desa Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.
Sebelum namanya terkenal karena kasus
pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya dikenal di kalangan terbatas:
Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak jalanan. Di mata anak-anak
itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja
dia menyediakan tempat menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02,
Pulogadung, Jakarta Timur tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. “Pernah
suatu hari, teman saya bernama Diki, dipalak laki-laki bernama Gomgom.
Laki-laki itu lebih tua dan lebih besar dibandingkan Diki.
Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom
langsung didatangi Babe dan diancam,” kata Anggi Setiawan, 17 tahun, yang
pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi dengan Babe terjadi 10
tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang
mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya
akrab dengan seorang pria penjual rokok. “Anak-anak itu memanggilnya Babe,”
kenang Anggi.
Sejak itu Anggi kemudian tinggal di
rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat hingga lima anak jalanan
menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah hingga 15 anak. Kata
Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek,
rambut anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan
panjang, dan dipangkas habis di bagian belakang. Karena air untuk mandi
terbatas, bergiliran anak-anak itu dimandikan Babe.
Biasanya kata Anggi, dimulai dengan
guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu direntangkan. Babe kemudian
menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun cuci itu juga digunakan sebagai
sampo. “Nunduk, nunduk,” Anggi masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu
memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya
bangun dan mencuci baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk
berjualan rokok, dan kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan
anakanak. Sarapan pagi sudah disediakan Babe.
Menunya menu ikan cuek goreng, sayur
sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe mengajak patungan membeli mi
instan. “Dia juga memasok nasi goreng untuk kami,” kata Anggi. Begitu
seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang
mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. “Dia
disayangi anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri,” kata Anggi
yang masih punya orang tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13
tahun yang juga pernah tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe selalu
mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil mengamen dikumpulkan dan diberikan
kepada orang tua masing-masing.
Sebagian anak-anak jalanan yang
tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua, termasuk Anggi. Kalau
anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka agar tidak tinggal
bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal
Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos.
Sehari lima ribu rupiah. “Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah
menabung selama satu bulan,” kata Deni.
Mungkin karena semua perhatiannya
kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah menjadi sumber Unicef.
Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak jalanan termasuk yang ada
di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi dan
diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi,
Babe mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan
keterangannya. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga korban
Babe bisa lebih 15 orang. Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak jalanan yang
dikoleksi Babe.
“Menurut keterangan anak jalanan,
foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe),” kata Arist. Benarkah
Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu? “Polisi menunjukkan foto-foto
korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak
kenal,” kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga
bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali
plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi tali
plastik. Tangan kanan Babe kemudian mendorong kepala korban ke depan, dan
tangan kirinya menarik tali ke belakang.
“Dia menikmati erangan bocah-bocah
yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu meregang nyawa menjadi sensasi
tersendiri bagi Babe,” kata Rangga. Jika korban sudah meninggal, barulah Babe
menggauli bocah-bocah itu. “Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena
sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih,” kata Rangga. Babe bukan tidak
menyesal melakukan pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh
korbannya, Babe selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe,
karena itu, juga seolah selalu memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera
terungkap.
Caranya, setiap korban yang dibunuh,
selalu dia letakkan dalam kardus air mineral. “Sehari-hari dia kan berdagang
rokok, dan air mineral,” kata Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui
polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan
tubuh seorang bocah, yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun.
Babe atau yang dikenal juga dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai
pelakunya. Dari mulut Babe, belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang
dibunuhnya bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral.
“Saya percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh,” kata Anggi. _ rangga
prakoso.
·
KASUS – KASUS YANG LAIN SEPERTI :
1.
PELANGGARAN HAM OLEH TNI
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan
PresidenSuharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi
alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada
akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
2.
KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di
Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80%
relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di
kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai
saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit
diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan
yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang
baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan
kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan
dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah
membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat
barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam
20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara
tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat
8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan
pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai
korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya
dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena
ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi
Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan
saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung
dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan
ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat
ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak
jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan
selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan
terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat
mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah
terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu
dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi
seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang
muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut
tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan
antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi
juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh
anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara
mereka sudah sulit untukmengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program
PendidikanAlternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak
malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain
itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan
oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses
pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan
masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada
banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang
dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih
dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media
yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa
Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio
SPMM/Suara Pembaruan MuslimMaluku).
·
PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap
agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja Katolik, entah
dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita melupakan
kasih, yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini
dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman
gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang
hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan
kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga
film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih
banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh
Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi
jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan
membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan
Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam
Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya
Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari
film GOYA’s GOST ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok
manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka justru
melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen,
Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan
‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal
abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan
manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda
dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita
telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya
dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi
dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan
macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan
negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS
dan sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS
dengan sejatanya yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan
mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk,
dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS
mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.
Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya
sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit :
menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan
yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali
dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden
Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’
yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana
ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari
para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung
“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti
terorisme (Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi film The
Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush
yang sering menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of
Heaven adalah sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari
ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4
abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah
hitam.
Dibawah ini review dari sebuah film,
tentang kejahatan dibawah payung Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/
Aliran tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang
melawan/menindas orang lain yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah?
membela tradisi? membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?
·
PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan
Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di
Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun
penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga
menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar
berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu
keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari
kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari
keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan
karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37
(untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman
minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider)
hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis
Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan
denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang
hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya.
Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan
pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak
terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu
perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut
karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI
dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose
Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat
Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi
kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000
tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan
tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa
yang dilakukan oleh orang Indonesia”
·
Kontroversi G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran
berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus
kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus
pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam
melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban
dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi.
”Anggaplah kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba
menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada
1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman
Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan
Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai
tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran
itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang
didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap
oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian
diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan
perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui
secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah
korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590
orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu
dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,”
urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak
dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat
rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses
pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu
bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor
yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur
penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka
agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga
berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang
menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan
Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita
sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut
Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu
hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur
dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan
massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa
peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar
masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar
masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah
adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan
keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan
dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus,
pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat
kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya
memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih
kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan
yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang
akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa
dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda
Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan
tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas
menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara
peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang
dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia,
sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu,
merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih
menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota
DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan
Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini
kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang
suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI
itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan
dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir
ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”
Menurut pengakuan sang putera yang
pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu
mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena
diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap
orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika
tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa
mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya
tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi
setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah
pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo,
juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal
G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara tegas,
pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
Setiap pelanggaran
ham seharusnya mendapatkan sanksi serta hukuman yang sesuai dengan peraturan
undang-undang dasar negara republik Indonesia
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan
oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan
diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses
pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam
Undang-Undang pengadilan HAM.
B.Saran-saran
Sebagai makhluk
sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di
samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan
sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita
dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam menjaga
HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita dengan HAM
orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://kasusham.blogspot.com/
Wikipedia Indonesia. 2007. Hak Asasi Manusia.
id.wikipedia.Org/wiki/HakAsasi Manusia-26k.Diakses 02 Desember 2011
perde modelleri
BalasHapussms onay
mobil odeme bozdurma
nft nasıl alınır
Ankara evden eve nakliyat
trafik sigortası
dedektör
web sitesi kurma
Ask romanlari